come and join us

Senin, 21 September 2015

Bolehkah Beli Barang dengan Cara Kredit



MEMBELI barang dengan cara kredit sering dilakukan oleh orang-orang. Pasalnya, kredit bisa membantu mereka yang mempunyai uang pas-pasan jika ingin membeli barang tertentu. Namun harga kredit biasanya lebih mahal dari kontan. Bahkan menurut salah seorang konsumen, pelayanan kepada pembeli kredit dan tunai lebih ramah terhadap pembeli kredit. Hal itu karena jika pembeli membayar dengan cara kredit otomatis keuntungan yang didapat lebih besar. Jika hal demikian terjadi, bagaimana hukum kredit dalam Islam?
Kredit dikenal dengan sebutan Bai’ bit Taqshid atau Bai’ bits tsaman ‘ajil, yakni membeli barang dengan harga yang berbeda antara tunai dengan tenggang waktu. Jumhur ulama membolehkannya sebab menurut DR.Yusuf Qordhowi dalam kaedah fikih Al-Ashlu fill Asyya’ al-Ibaahah (asal segala sesuatu adalah mubah), dalam hal ini tidak ada nash yang mengharamkannya, dan kredit ini tidak sama dengan riba.
Asy-Syaukani berkata, “Golongan Syafi’iyah, Hanafiyah Zaid bin Ali, al-Muayyad dan Jumhur Ulama membolehkannya. Dan kiranya inilah yang lebih tepat. Oleh sebab itu harga tunai boleh berbeda dengan harga yang bertempo (tenggang waktu) dan pedagang boleh menaikan harga menurut yang pantas selama tidak sampai pada batas eksploitasi dan kezaliman.
Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (z) bulan.
Namun sebagai syarat harus dipenuhi ketentuan berikut :
Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Misalnya : harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.
Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering terjadi.
Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan).
Untuk lebih jelasnya agar bisa dibedakan antara sistem kredit yang dibolehkan dan yang tidak, kami contohkan dua kasus sebagai berikut :
Contoh 1 :
Ahmad menawarkan sepeda motor pada Budi dengan harga Rp. 12 juta. Karena Budi tidak punya uang tunai Rp.12 juta, maka dia minta pembayaran dicicil (kredit).
Untuk itu Ahmad minta harganya menjadi Rp. 18 juta yang harus dilunasi dalam waktu 3 tahun. Harga Rp. 18 juta tidak berdasarkan bunga yang ditetapkan sekian persen, tetapi merupakan kesepakatan harga sejak awal.
Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam.
Contoh 2 :
Ali menawarkan sepeda motor kepada Iwan dengan harga Rp. 12 juta. Iwan membayar dengan cicilan dengan ketentuan bahwa setiap bulan dia terkena bunga 2 % dari Rp. 12 juta atau dari sisa uang yang belum dibayarkan.
Transaksi seperti ini adalah riba, karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung dengan besar bunga dan masa cicilan. Yang seperti ini jelas haram.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam bukunya, Al-Halalu Wal Haramu fil Islam, mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan. Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.
Memang ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual beli kretdit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram.
Imam Syaukani berkata: “Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat.” [fh/islampos/ahmadS/al-iskandari]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar