come and join us

Minggu, 04 Oktober 2015

Apakah Viking Memang Identik dengan Kekejaman?

Ahli sejarah Yale mengajak kita untuk berpikir kembali soal alkisah-alkisah mengerikan tentang suku Nordik.

Apakah Viking Memang Identik dengan Kekejaman?Ilustrasi yang melukiskan stereotip Viking sebagai perusak dan penganiaya. Adegan yang digambarkan di sini adalah serangan pada sebuah biara di Clonmacnoise, Irlandia. (TOM LOVELL)
Kaum Viking tercatat tak menyisakan apa pun ketika mereka menyerbu Kota Nantes—kini di Perancis bagian barat, Juni 843. Termasuk para biksu pendeta yang beriringan memasuki katedral dalam kota itu.
Berdasarkan penuturan seorang saksi mata peristiwa, "Orang kafir itu membantai semua orang, baik imam, ulama, sampai awam." Di antara orang-orang yang mati terbunuh tersebutlah seorang uskup yang kemudian dijadikan orang suci.
Bagi kacamata pembaca modern, cerita serangan tersebut tampaknya mengerikan, kejam—bahkan untuk standar peperangan abad pertengahan.
Anders Winroth, profesor sejarah Universitas Yale dan penulis buku The Age of the Vikings, mengatakan bahwa penggambaran yang dibesar-besarkan (hiperbola) ini adalah suatu kecenderungan dari tulisan-tulisan Eropa tentang kaum Viking.
Winroth berpendapat, selain mengabaikan tabu menyerang pendeta dan imam, Viking pun tidak banyak berbeda daripada prajurit Eropa bangsa lain di masa itu.
Pendapat Winroth itu disepakati sejumlah akademisi: Viking yang "haus darah" juga tak jauh lebih buruk daripada bangsa-bangsa lainnya yang berperang.
"Pada masanya, banyak bangsa Eropa lainnya juga mengerikan," tutur Tom Shippey, seorang profesor emeritus Bahasa Inggris di Saint Louis University yang sering menulis tentang Viking.
Lantas mengapa Viking yang selalu menang? Banyak penjelasan, Shippey berkata. Antara lain, etos yang dimiliki Viking tidaklah sama seperti Eropa lain mana pun. Salah satu yang dikatakannya yaitu sikap menakzimkan idealisme sebagai prajurit dan, di satu sisi, tak memedulikan kematian.
Sudut pandang korban
Viking mendapatkan publikasi negatif, sebab mereka menyerang masyarakat yang lebih terpelajar ketimbang mereka sendiri dan karenanya sejarah menuliskan banyak cerita dari tentang bangsa itu, konteks ceritanya hanya dari sudut pandang korban.
Terlebih, oleh karena Viking menganut pagan, dalam alur cerita Kristen mereka dicitrakan sebagai "kuasa jahat".
"Sangat tak adil hanya mengikuti cerita yang dituturkan dari korban," ujarnya.
Bahkan, untuk memastikan, para akademisi pun mempelajari selama puluhan tahun aspek kehidupan Viking di luar perang, dan mendapati keahlian suku Nordik di bidang ketukangan, juga keahlian dagang dengan Arab.
Mereka ialah pedagang yang luar biasa, menjual mulai dari fur, taring walrus, dan budak kepada orang-orang Arab di Timur. Winroth bahkan meyakini kalau mereka telah menyediakan stimulus moneter yang dibutuhkan perekonomian Eropa Barat pada saat-saat genting. 
Alasan sebenarnya
Apa sejatinya alasan dari serbuan Viking?
Bisa jadi bukan soal mereka secara irasional menyukai kekerasan melainkan, menurut pendapat Winroth, alasan pragmatis. Semata-mata karena ingin membangun kekuatan dan kekayaan pribadi.
Sebagai buktinya Winroth menunjukkan sejumlah kasus di mana para pemimpin Viking menegosiasikan (atau setidaknya mencoba untuk) pembayaran.
Salah satu contoh, sebelum Pertempuran Maldon di Inggris, seorang utusan Viking mendarat dan berseru ke 3.000 lebih prajurit Saxon: 'Lebih baik Anda membayar lunas pertarungan ini dengan upeti... Juga kita tak perlu saling membunuh.' Inggris memilih melawan, dan ditaklukkan.
"Sebagaimana bangsa lain, Viking pun memilih memenangkan negosiasi daripada mengambil risiko kekalahan dalam perang," kata Winroth.
(Christopher Shea)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar