Pernah dengar Cerita si Pahit lidah?
Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.
Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
“Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci,” ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.
Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.
“Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia.”
Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.
Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.
“Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan…,” tulis arkeolog Bambang Budi Utomo (Kompas , 26 Agustus 2005).
Obyek studi
Sejak zamannya Ulman, peneliti zaman klasik itu selalu menghubungkan seni hias yang ada dengan budaya Hindu. Bahkan, Tombrik tahun 1872 menuliskan laporan Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang, als van Geschiedkundig Onderzoek.
Kesimpulan sementara budaya Hindu itu kemudian dibahas lebih tajam pada buku disertasi karya ANJ Th van der Hoop, Megalithic Remains in South Sumatra, 1932.
Saat itulah situs di Pasemah itu terkenal sebagai situs megalitik di Sumsel, berikut penerbitan Megalithische Oudheden in Zuid- Sumatra , seraya mengakhiri debat ilmiah perihal pengaruh Hindu.
Wujud manusia biasanya dengan tubuh tambun, berikut bentuk tangan, kaki, perut, dan leher yang gemuk. Umumnya badan manusia itu membungkuk dengan kepala berketopong menghadap ke depan atau agak menengadah.
“Bentuk lainnya ada juga tokoh manusia menggamit seekor kerbau selain gajah. Ada teori klasik yang menyebutkan kalau gajah dan kerbau merupakan hewan tunggangan, tetapi debat dan kilah ilmiah arkeologis itu kini belum dilanjutkan dengan penelitian komprehensif, ujar Nurhadi yang mengakui instansinya tidak ada anggaran untuk studi megalit di Sumsel.
Sambil menyusuri takikan halus di batu besar itu, Nurhadi mengatakan kalau seni pahat megalitik itu amat mengagumkan. Torehan pahat, tatahan, pahatan permukaan batu pejal itu, dibuat amat halus dan proporsional, mengikuti bentuk dasar batu. Batu gajah yang diteliti Van der Hoop dan diboyong ke Palembang di zaman 70-an memiliki alasan tersendiri.
“Kami upayakan menemukan catatan lama soal kejadian itu karena tidak mungkin batu berton-ton beratnya itu diangkut tanpa maksud dan tujuan ilmiah,” ucapnya.
Suasana Museum Balaputradewa di Palembang pagi hari itu ramai dikunjungi rombongan siswa SLTA. Seperti biasanya museum pemerintah, pelajar itu berjalan bebas tanpa ada bimbingan guru atau juru penerang dari museum. Batu gajah besar itu hanyalah batu tanpa pesan dan kesan ilmiahnya.
Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang
keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang
dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat
Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info
populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk
manusia dan binatang.Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.
Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
“Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci,” ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.
Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.
“Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia.”
Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.
Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.
“Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan…,” tulis arkeolog Bambang Budi Utomo (Kompas , 26 Agustus 2005).
Obyek studi
Sejak zamannya Ulman, peneliti zaman klasik itu selalu menghubungkan seni hias yang ada dengan budaya Hindu. Bahkan, Tombrik tahun 1872 menuliskan laporan Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang, als van Geschiedkundig Onderzoek.
Kesimpulan sementara budaya Hindu itu kemudian dibahas lebih tajam pada buku disertasi karya ANJ Th van der Hoop, Megalithic Remains in South Sumatra, 1932.
Saat itulah situs di Pasemah itu terkenal sebagai situs megalitik di Sumsel, berikut penerbitan Megalithische Oudheden in Zuid- Sumatra , seraya mengakhiri debat ilmiah perihal pengaruh Hindu.
Wujud manusia biasanya dengan tubuh tambun, berikut bentuk tangan, kaki, perut, dan leher yang gemuk. Umumnya badan manusia itu membungkuk dengan kepala berketopong menghadap ke depan atau agak menengadah.
“Bentuk lainnya ada juga tokoh manusia menggamit seekor kerbau selain gajah. Ada teori klasik yang menyebutkan kalau gajah dan kerbau merupakan hewan tunggangan, tetapi debat dan kilah ilmiah arkeologis itu kini belum dilanjutkan dengan penelitian komprehensif, ujar Nurhadi yang mengakui instansinya tidak ada anggaran untuk studi megalit di Sumsel.
Sambil menyusuri takikan halus di batu besar itu, Nurhadi mengatakan kalau seni pahat megalitik itu amat mengagumkan. Torehan pahat, tatahan, pahatan permukaan batu pejal itu, dibuat amat halus dan proporsional, mengikuti bentuk dasar batu. Batu gajah yang diteliti Van der Hoop dan diboyong ke Palembang di zaman 70-an memiliki alasan tersendiri.
“Kami upayakan menemukan catatan lama soal kejadian itu karena tidak mungkin batu berton-ton beratnya itu diangkut tanpa maksud dan tujuan ilmiah,” ucapnya.
Suasana Museum Balaputradewa di Palembang pagi hari itu ramai dikunjungi rombongan siswa SLTA. Seperti biasanya museum pemerintah, pelajar itu berjalan bebas tanpa ada bimbingan guru atau juru penerang dari museum. Batu gajah besar itu hanyalah batu tanpa pesan dan kesan ilmiahnya.
Kisah manusia dan gajah yang “dikutuk” Si Pahit Lidah menjadi batu
kaku hanya menjadi pajangan koleksi biasa. Mungkin sekali waktu perlu
ada tokoh “Si Manis Lidah” agar bisa menjelaskan latar belakang budaya
luhur Sumsel dan kisah Si Pahit Lidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar