Studi genetika menjadi ujung tombak untuk mengetahui asal-usul dan migrasi manusia, juga penanganan penyakit berdasarkan spesifikasi genetikanya.
Studi genetika menjadi ujung tombak untuk mengetahui asal-usul dan migrasi manusia, juga penanganan penyakit berdasarkan spesifikasi genetikanya. Namun, pengambilan sampel genetika, bukan hanya persoalan statistik. Para peneliti genetika selain menghadapi medan berat, juga harus menghadapi aneka karakter masyarakat.
Setelah diminta mengunyah sirih pinang, para peneliti lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, itu digiring ke luar dari rumah adat menuju lapangan. Herawati Sudoyo, ahli genetika dari Eijkman yang memimpin penelitian, berjalan di depan, diikuti dua peneliti muda, Gludhug Ariyo Purnomo dan Isabella Apriyana. Stephen Lansing, antroplog yang juga Direktur Complexity Institute Nanyang Technological University-Singapura, berjalan paling belakang.
Seorang lelaki, berikat kepala merah dan memegang parang besar, menunggu di samping tugu dan meja batu. Beriringan, para peneliti itu diminta memutarinya hingga tiga kali, mengikuti pemimpin adat. Di pinggir lapangan, riuh warga menonton dan sesekali bersorak mengikuti teriakan lelaki dengan parang itu.
”Ritual yael woma (mengelilingi tugu batu) ini untuk mengenalkan orang baru kepada leluhur,” kata Yosep Kaanubun, pemangku adat Desa Waur, Kecamatan Kei Besar, Maluku Tenggara. ”Di sini semua kegiatan harus dimulai dengan ritual adat. Apalagi ini mau ambil darah. Bapak-Ibu harus menjadi bagian dari kami dulu.”
Para peneliti Eijkman ini berada di Desa Waur pada awal September 2015 dalam rangka memetakan genetika masyarakat Indonesia sebagai bagian dari penelitian jangka panjang sejak tahun 1996. Selain ke desa-desa di Pulau Kei Kecil dan Kei Besar di Maluku Tenggara, mereka juga ke Kepulauan Tanimbar di Maluku Tenggara Barat (MTB).
Mitos dan Logos
Setelah menahbiskan para pendatang itu menjadi bagian dari mereka, Yosep kemudian mengisahkan asal- usul masyarakat Kei berdasarkan cerita lisan yang diwarisinya turun- temurun. Menurut dia, gelombang pertama pendatang dari Bali, Jawa, dan Sumatera. Kedua, datang dari Tobelo (Pulau Halmahera) dan Pulau Ternate. Ketiga, datang dari Tanimbar. Dan keempat datang dari Banda Neira. Sebelum gelombang kedatangan ini, sudah ada penduduk asli di Kei yang dipercaya turun dari kayangan.
Para peneliti menyimak penjelasan itu dengan takzim. ”Kami harus menghormati penjelasan warga itu,” kata Herawati.
Studi genetika adalah salah satu puncak dari revolusi ilmu pengetahuan modern saat ini. Sebagai bagian dari ilmu biologi molekuler, proses analisisnya melibatkan statistik yang ketat dan terukur. Sampel darah akan diekstraksi lalu diurai untuk dilacak materi genetikanya dan itu menggunakan mesin dan peralatan dengan teknologi termutakhir. Namun, menurut Hera, di lapangan, para peneliti genetika harus mau terbuka terhadap segala macam informasi, termasuk yang berasal dari mitologi.
Setelah diminta mengunyah sirih pinang, para peneliti lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, itu digiring ke luar dari rumah adat menuju lapangan. Herawati Sudoyo, ahli genetika dari Eijkman yang memimpin penelitian, berjalan di depan, diikuti dua peneliti muda, Gludhug Ariyo Purnomo dan Isabella Apriyana. Stephen Lansing, antroplog yang juga Direktur Complexity Institute Nanyang Technological University-Singapura, berjalan paling belakang.
Seorang lelaki, berikat kepala merah dan memegang parang besar, menunggu di samping tugu dan meja batu. Beriringan, para peneliti itu diminta memutarinya hingga tiga kali, mengikuti pemimpin adat. Di pinggir lapangan, riuh warga menonton dan sesekali bersorak mengikuti teriakan lelaki dengan parang itu.
”Ritual yael woma (mengelilingi tugu batu) ini untuk mengenalkan orang baru kepada leluhur,” kata Yosep Kaanubun, pemangku adat Desa Waur, Kecamatan Kei Besar, Maluku Tenggara. ”Di sini semua kegiatan harus dimulai dengan ritual adat. Apalagi ini mau ambil darah. Bapak-Ibu harus menjadi bagian dari kami dulu.”
Para peneliti Eijkman ini berada di Desa Waur pada awal September 2015 dalam rangka memetakan genetika masyarakat Indonesia sebagai bagian dari penelitian jangka panjang sejak tahun 1996. Selain ke desa-desa di Pulau Kei Kecil dan Kei Besar di Maluku Tenggara, mereka juga ke Kepulauan Tanimbar di Maluku Tenggara Barat (MTB).
Mitos dan Logos
Setelah menahbiskan para pendatang itu menjadi bagian dari mereka, Yosep kemudian mengisahkan asal- usul masyarakat Kei berdasarkan cerita lisan yang diwarisinya turun- temurun. Menurut dia, gelombang pertama pendatang dari Bali, Jawa, dan Sumatera. Kedua, datang dari Tobelo (Pulau Halmahera) dan Pulau Ternate. Ketiga, datang dari Tanimbar. Dan keempat datang dari Banda Neira. Sebelum gelombang kedatangan ini, sudah ada penduduk asli di Kei yang dipercaya turun dari kayangan.
Para peneliti menyimak penjelasan itu dengan takzim. ”Kami harus menghormati penjelasan warga itu,” kata Herawati.
Studi genetika adalah salah satu puncak dari revolusi ilmu pengetahuan modern saat ini. Sebagai bagian dari ilmu biologi molekuler, proses analisisnya melibatkan statistik yang ketat dan terukur. Sampel darah akan diekstraksi lalu diurai untuk dilacak materi genetikanya dan itu menggunakan mesin dan peralatan dengan teknologi termutakhir. Namun, menurut Hera, di lapangan, para peneliti genetika harus mau terbuka terhadap segala macam informasi, termasuk yang berasal dari mitologi.
”Beberapa pengetahuan tradisional yang diyakini warga sering kali terbukti sesuai dengan hasil penelitian genetika walaupun sebagian lainnya mungkin berbeda,” kata Hera.
Ia mencontohkan, masyarakat di Pulau Sumba memiliki mitologi bahwa leluhur mereka berasal dari Desa Wunga, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur. Hasil analisis genetika yang dilakukannya membuktikan bahwa jejak gen penutur Austronesia tertua memang berasal dari penduduk di kawasan itu. Para penutur Austronesia ini mendarat di Wunga sekitar 3.500 tahun lalu sebelum kemudian menyebar ke seluruh pulau dan sebagian kawin-mawin dengan penutur Papua yang lebih dulu menghuni pulau ini.
Bahasa
Integrasi antar-disiplin ilmu itu juga terlihat dari keterlibatan Lansing, yang lebih fokus untuk meneliti bahasa. Ketika para peneliti Eijkman sibuk mengumpulkan sampel darah, Stephen Lansing bergerilya merekam bahasa yang dipakai warga. Berbekal kamera video, dia meminta perwakilan warga menyebutkan 200 kata dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah sesuai daftar kata Swadesh.
Daftar kata ini awalnya dikembangkan oleh linguis Morish Swadesh (1909-1967) sebagai alat pembelajaran tentang evolusi bahasa. Daftar ini mengandung satu set kata-kata dasar yang dapat ditemukan di hampir semua bahasa, misalnya kata ”saya”, ”kamu”, ”buru”, dan ”hutan”. Dengan mengumpulkan dan menganalisis daftar kata dasar dalam bahasa daerah, akan diketahui kekerabatannya, bahkan evolusinya. Populasi mana yang lebih dahulu menggunakan bahasa tersebut, dan mana yang belakangan, walaupun dalam beberapa kasus relasi bahasa dan genetika tidak terjadi secara linier.
Misalnya, masyarakat Madagaskar dari aspek kebahasaan memiliki kemiripan bahasa dengan masyarakat Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
”Namun, dari studi yang telah kami lakukan, genetika masyarakat Madagaskar ternyata berasal dari suku Bajau,” sebut Hera. Bahasa bisa dipinjam, tetapi genetika tidak, dia hanya diwariskan melalui perkawinan.
Respons sosial
Setelah mendapatkan izin dari tetua adat, pengambilan darah warga Desa Waur siang itu akhirnya berjalan lancar. ”Tenang saja, kami hanya ambil darah sekitar satu sendok teh,” ujar Gludhug Ariyo kepada warga yang antre di rumah Kepala Desa Waur. Beberapa warga, terutama yang tua- tua yang belum pernah merasakan jarum suntik terlihat ragu. ”Ah enggak sakit, seperti digigit semut saja,” ujar Yusuf B Supu, petugas dari Dinas Kesehatan Maluku Tenggara, yang membantu pengambilan darah meyakinkan warga.
Jika di Waur peneliti disambut upacara adat, di Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil, mereka disambut dengan cecaran pertanyaan dari aparat desa, utamanya dari Kepala Desa Adolf Markus Tenihut. Walaupun sudah membawa surat izin dari pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten, dan sebelumnya sudah menghubungi kepala desa lewat telepon, menurut mereka hal itu belum memadai.
”Harusnya ada pemberitahuan jauh-jauh hari agar bisa menjelaskan kepada warga. Lalu, apa ini Eijkman, kenapa namanya seperti orang Belanda?” kata Adolf Markus.
Hera meminta maaf soal ketergesaan itu, dan kemudian menjelaskan tentang lembaga Eijkman. Setelah berdiskusi sekitar setengah jam, akhirnya suasana mencair. Kepala Desa Adolf Markus ternyata pernah lama tinggal di Jakarta, persisnya di sekitar Kecamatan Johar Baru. Begitu disebut tentang kantor Eijkman yang berada satu kompleks dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dia pun langsung ngeh. ”Nah itu sudah. Dulu pernah bertetangga. Saya dulu sering ke sekitar sana,” kata Adolf.
Akhirnya, hampir semua aparat desa dengan sukarela diambil darahnya, kecuali kepala desa, yang ternyata takut dengan jarum suntik.
Imbalan
Di Desa Alusi Krawain, Kecamatan Kormomolin, Maluku Tenggara Barat, peneliti dihadapkan langsung kepada warga desa yang mempertanyakan mengenai maksud hingga imbalan dan manfaat apa yang mereka peroleh jika diambil darahnya. Sekalipun beberapa hari sebelumnya, penjelasan ini sudah disampaikan kepada aparat desa.
Samuel Gaitian, Sekretaris Dinas Kesbangpol dan Linmas Kabupaten MTB, yang turut mendampingi, banyak membantu menjembatani komunikasi warga dengan peneliti. ”Nah, karena kita juga ambil dorang punya darah, maka kita juga beri pemasukan buat dorang. Setelah diambil darahnya, nanti ada kue-kue dan makan siang. Selain itu juga ada uang transpor buat dorang semua,” katanya. Warga pun bersorak dan tersenyum puas.
Selama empat hari di Pulau Kei Besar dan Kei Kecil, para peneliti Eijkman ini berhasil mengumpulkan 95 sampel darah warga dari tiga desa. Sebelumnya, selama seminggu di Kepulauan Tanimbar mereka mengumpulkan 106 sampel darah warga dari empat desa.
”Untuk mendapat kepercayaan warga, kami menggunakan berbagai jalur. Mulai dari tokoh pemerintah, aparat keamanan, pemimpin agama, hingga adat. Bahkan, waktu di pedalaman Sumatera Selatan, kami menggandeng kepala preman setempat karena dia yang paling dihormati di sana,” kata Kompas)
Ia mencontohkan, masyarakat di Pulau Sumba memiliki mitologi bahwa leluhur mereka berasal dari Desa Wunga, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur. Hasil analisis genetika yang dilakukannya membuktikan bahwa jejak gen penutur Austronesia tertua memang berasal dari penduduk di kawasan itu. Para penutur Austronesia ini mendarat di Wunga sekitar 3.500 tahun lalu sebelum kemudian menyebar ke seluruh pulau dan sebagian kawin-mawin dengan penutur Papua yang lebih dulu menghuni pulau ini.
Bahasa
Integrasi antar-disiplin ilmu itu juga terlihat dari keterlibatan Lansing, yang lebih fokus untuk meneliti bahasa. Ketika para peneliti Eijkman sibuk mengumpulkan sampel darah, Stephen Lansing bergerilya merekam bahasa yang dipakai warga. Berbekal kamera video, dia meminta perwakilan warga menyebutkan 200 kata dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah sesuai daftar kata Swadesh.
Daftar kata ini awalnya dikembangkan oleh linguis Morish Swadesh (1909-1967) sebagai alat pembelajaran tentang evolusi bahasa. Daftar ini mengandung satu set kata-kata dasar yang dapat ditemukan di hampir semua bahasa, misalnya kata ”saya”, ”kamu”, ”buru”, dan ”hutan”. Dengan mengumpulkan dan menganalisis daftar kata dasar dalam bahasa daerah, akan diketahui kekerabatannya, bahkan evolusinya. Populasi mana yang lebih dahulu menggunakan bahasa tersebut, dan mana yang belakangan, walaupun dalam beberapa kasus relasi bahasa dan genetika tidak terjadi secara linier.
Misalnya, masyarakat Madagaskar dari aspek kebahasaan memiliki kemiripan bahasa dengan masyarakat Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
”Namun, dari studi yang telah kami lakukan, genetika masyarakat Madagaskar ternyata berasal dari suku Bajau,” sebut Hera. Bahasa bisa dipinjam, tetapi genetika tidak, dia hanya diwariskan melalui perkawinan.
Respons sosial
Setelah mendapatkan izin dari tetua adat, pengambilan darah warga Desa Waur siang itu akhirnya berjalan lancar. ”Tenang saja, kami hanya ambil darah sekitar satu sendok teh,” ujar Gludhug Ariyo kepada warga yang antre di rumah Kepala Desa Waur. Beberapa warga, terutama yang tua- tua yang belum pernah merasakan jarum suntik terlihat ragu. ”Ah enggak sakit, seperti digigit semut saja,” ujar Yusuf B Supu, petugas dari Dinas Kesehatan Maluku Tenggara, yang membantu pengambilan darah meyakinkan warga.
Jika di Waur peneliti disambut upacara adat, di Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil, mereka disambut dengan cecaran pertanyaan dari aparat desa, utamanya dari Kepala Desa Adolf Markus Tenihut. Walaupun sudah membawa surat izin dari pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten, dan sebelumnya sudah menghubungi kepala desa lewat telepon, menurut mereka hal itu belum memadai.
”Harusnya ada pemberitahuan jauh-jauh hari agar bisa menjelaskan kepada warga. Lalu, apa ini Eijkman, kenapa namanya seperti orang Belanda?” kata Adolf Markus.
Hera meminta maaf soal ketergesaan itu, dan kemudian menjelaskan tentang lembaga Eijkman. Setelah berdiskusi sekitar setengah jam, akhirnya suasana mencair. Kepala Desa Adolf Markus ternyata pernah lama tinggal di Jakarta, persisnya di sekitar Kecamatan Johar Baru. Begitu disebut tentang kantor Eijkman yang berada satu kompleks dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dia pun langsung ngeh. ”Nah itu sudah. Dulu pernah bertetangga. Saya dulu sering ke sekitar sana,” kata Adolf.
Akhirnya, hampir semua aparat desa dengan sukarela diambil darahnya, kecuali kepala desa, yang ternyata takut dengan jarum suntik.
Imbalan
Di Desa Alusi Krawain, Kecamatan Kormomolin, Maluku Tenggara Barat, peneliti dihadapkan langsung kepada warga desa yang mempertanyakan mengenai maksud hingga imbalan dan manfaat apa yang mereka peroleh jika diambil darahnya. Sekalipun beberapa hari sebelumnya, penjelasan ini sudah disampaikan kepada aparat desa.
Samuel Gaitian, Sekretaris Dinas Kesbangpol dan Linmas Kabupaten MTB, yang turut mendampingi, banyak membantu menjembatani komunikasi warga dengan peneliti. ”Nah, karena kita juga ambil dorang punya darah, maka kita juga beri pemasukan buat dorang. Setelah diambil darahnya, nanti ada kue-kue dan makan siang. Selain itu juga ada uang transpor buat dorang semua,” katanya. Warga pun bersorak dan tersenyum puas.
Selama empat hari di Pulau Kei Besar dan Kei Kecil, para peneliti Eijkman ini berhasil mengumpulkan 95 sampel darah warga dari tiga desa. Sebelumnya, selama seminggu di Kepulauan Tanimbar mereka mengumpulkan 106 sampel darah warga dari empat desa.
”Untuk mendapat kepercayaan warga, kami menggunakan berbagai jalur. Mulai dari tokoh pemerintah, aparat keamanan, pemimpin agama, hingga adat. Bahkan, waktu di pedalaman Sumatera Selatan, kami menggandeng kepala preman setempat karena dia yang paling dihormati di sana,” kata Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar