come and join us

Kamis, 17 September 2015

Kecerdasan Optimal

Kesuksesan seseorang, ternyata sebanyak 80 persen ditentukan oleh kecerdasan emosinya (EQ), sementara kecerdasan intelektual (IQ) hanya memberikan kontribusi peran sebesar 20 persen. Seperti apakah kecerdasan emosi itu? Tulisan ini merupakan bagian kesatu dari tiga tulisan 

Sebuah kisah tragis telah menimpa seorang siswa kelas dua SMU, beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda rajin dan pandai, yang disukai teman-temannya karena pandai bergaul. Ia pun terkenal aktif dalam kegiatan ibadah dan dakwah Islam di kepengurusan OSIS di sekolahnya. Melihat catatan kepribadiannya yang begitu positif, wajar jika seluruh guru dan temannya tak bisa mempercayai ketika suatu saat diketemukan si pemuda alim telah menjadi mayat karena melakukan gantung diri di kamar mandi rumahnya! 

Bahkan ayah, ibu dan saudara-saudaranya pun masih belum bisa mempercayai kenyataan tersebut, walau telah membaca berpuluh-puluh kali rangkaian kalimat yang dituliskan si pemuda dalam surat ia tinggalkan di meja belajarnya sebelum mengambil keputusan mengenaskan itu. Dalam surat terakhirnya itu si pemuda mencoba menuturkan kesedihan dan kekecewaan batinnya yang amat sangat mendalam, karena telah gagal memenuhi janjinya kepada Allah swt dan terhadap dirinya sendiri. 

Ia kisahkan bahwa sejak sepuluh hari sebelumnya, ia telah membuat janji kepada Allah swt, akan melaksanakan shalat tahajjud selama sepuluh hari. Begitu bersemangatnya si pemuda berinisiatif mengikat janji tersebut, karena termotivasi dari kegiatan training pembinaan keagamaan yang baru saja dilakukan para mahasiswa yang membina kegiatan remaja masjid di daerah permukimannya. 

Namun rupanya ghirahnya ber-Islam tersebut tidak sempat terbimbing dengan benar, hingga ketika ternyata ia berulang-ulang gagal untuk bangun pada malam hari, dari hari pertama hingga hari ke sepuluh, seperti yang telah ia azzam-kan, maka kekecewaan hatinya pun benar-benar tak terbendung lagi. Ia pun mengalami depresi akibat tumpukan rasa berdosa yang sangat parah dan perasaan tak berguna dalam dirinya. Saat itulah, kondisi emosi menjadi lebih berperan mengalahkan pikiran rasional. Karena emosi si pemuda ternyata belum cerdas, maka iapun memilih jalan pintas dengan maksud menebus kesalahan yang telah menghimpit perasaannya. 

Kisah tragis yang dialami pemuda alim tersebut memberikan pembelajaran kepada kita tentang begitu pentingnya peran kecerdasan emosi dalam menentukan jalan hidup seseorang. Sepintar apapun intelektual (IQ) seseorang, bisa menjadi tak berarti jika tak dibarengi kecerdasan emosional(EQ). 

Apakah itu kecerdasan emosional?
 
Mari kita bayangkan sebuah kejadian, ketika anak-anak sedang melalui kewajiban untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Sebelumnya, mereka telah berusaha belajar berbulan-bulan di bawah bimbingan guru, dan mengerjakan beratus-ratus soal-soal latihan. Pada hari pelaksanaan ujian, mereka merasa mantap dengan persiapan yang telah dilakukan selama ini. 

Kesiapan mental mereka ternyata mulai goyah setelah mulai membaca soal-soal ujian yang dibuat oleh sekolah lain. Ternyata model soal serta materi yang ditanyakan di sana sangat jauh berbeda dengan apa yang selama ini diajarkan oleh guru mereka! Tentu saja, anak-anak pun kelabakan menghadapinya.
Seorang anak segera mengalami down, kejatuhan mental karenanya. Timbul perasaan kecewa yang sangat berat karena ternyata persiapan matang yang sudah dilakukan selama ini salah dan tak berguna. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing, wajahnya tegang, dan hafalan-hafalan rumus yang semula sudah lekat di kepala pun tiba-tiba hilang tak bersisa. Ia menghabiskan waktu dengan mencoret-coret lembar jawaban, terus-menerus mendesah dan mengeluh jengkel, sambil melirik kanan kiri, melihat reaksi teman di kanan kirinya, berharap ada teman yang sama bingungnya dengan dirinya. Akhirnya ia pun menyelesaikan ujiannya dengan hampir separuh soal tak terisi. 

Anak yang lain bereaksi dengan mencoba meredam keterkejutannya, melihat betapa sulit soal yang dihadapinya. Ia menarik nafas panjang, menegakkan punggungnya, dan berusaha menenangkan hatinya. Sempat timbul keraguan, bisakah ia mengerjakannya? Namun hati kecilnya cepat menepis keraguan itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia telah berusaha sebaik mungkin untuk belajar. Diingatnya pesan ibunya, bahwa Allah menilai berdasarkan seberapa besar usaha seseorang, bukan seberapa besar hasilnya. Maka ia pun mulai mencoba membaca dengan hati-hati soal demi soal dengan tenang, dan mencoba menjawab sebatas kemampuannya. Ternyata, ia bisa menyelesaikan seluruh soal yang ada, walaupun banyak yang diisinya penuh keraguan, namun ia tak membiarkannya kosong tak berisi, karena bukankah mencoba mengisinya masih lebih baik dari pada tidak diisi sama sekali? 

Dalam kisah di atas, anak sedang dihadapkan kepada situasi yang menegangkan dan menimbulkan kekecewaan serta kekhawatiran yang mencekam. Dan kedua anak telah menunjukkan dua reaksi emosi yang berbeda dalam menghadapinya. Anak pertama tak mampu mengatasi stress yang dialaminya, sehingga ia tak bisa mengontrol kepandaian otak rasionalnya. Sebaliknya anak kedua mampu mempertahankan kestabilan perasaan dan emosinya dalam menghadapi ketegangan tersebut, sehingga berhasil menguasai otak rasionalnya. Ia telah memiliki emosi yang cerdas, yang akhirnya menyelamatkan nasibnya dalam ujian tersebut. 

Dalam sisi kepribadian manusia, ternyata terdiri dua dimensi yang berbeda, yaitu sisi rasional dan sisi emosional. Sisi rasional menyangkut kemampuan manusia dalam menghitung, meneliti, memikirkan sebab akibat, menjalankan mesin dan memproduksi sesuatu. Sementara sisi emosional membawa nuansa perasaan, menyangkut suasana hati gembira, sedih, kecewa, tegang, takut, hingga pasrah.
Seberapa mampu seseorang mengatasi kesedihan, ketakutan dan mengelola berbagai sisi emosi dalam dirinya itulah yang disebut kecerdasan emosi. Mereka yang emosinya cerdas, ia akan tahu dan mampu menata perasaannya, kapan ia harus marah, sedih atau kecewa, dan kapan pula ia boleh gembira.
Selain mampu mengelola emosi diri sendiri, anak yang emosinya cerdas pun pandai memahami keadaan orang lain. Mereka mudah merasakan kesedihan dan kekhawatiran yang dirasakan temannya, sehingga tumbuh empati mereka untuk menghibur teman tersebut. Terhadap teman yang sedang jengkel, marah dan mengejek dirinya pun ia mudah memaafkan. 

Kepandaian dalam bersosialisasi, termasuk salah satu aspek kecerdasan emosi. Anak pandai bergaul, tidak pemalu, dan cenderung mengutamakan orang lain, setelah kepuasannya sendiri tercukupi. Mereka yang sangat cerdas emosinya bahkan memiliki kemampuan untuk memimpin teman-temannya, dijadikan panutan dan disukai banyak teman. 

80 versus 20
 
Contoh perbedaan reaksi anak dalam menghadapi ujian di atas, cukup memberikan gambaran bagaimana kecerdasan emosi memberikan peran yang amat besar untuk menentukan berfungsi tidaknya otak rasional. Anak pertama yang tak memiliki kecerdasan emosi memadai, akhirnya tak mampu mengendalikan stressnya hingga otak rasionalnya tak bisa berfungsi sempurna. Intelektualitasnya telah dikuasai dan dikalahkan oleh emosinya yang sedang buruk.
Contoh kemampuan anak kedua dalam mengendalikan stress, cukup memberikan gambaran betapa besar peran sisi emosi ini dalam mengendalikan intelektualitas seseorang. Mudah dipahami, bahwa Daniel Goleman, sang pakar kecerdasan emosional mengungkapkan dalam bukunya, Emotional Intelligence, bahwa perbandingan peran antara kecerdasan emosional dibanding kecerdasan intelegensi dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang adalah setara dengan perbandingan 80 : 20. 

Bagaimana EQ melejitkan IQ
 
Anak yang memiliki emosi cerdas, akan mengambil tindakan cukup simpatik ketika dihadapkan pada situasi yang menegangkan. Mereka bisa mengendalikan emosi ketika ketegangan muncul saat menghadapi soal-soal ujian yang luar biasa sulitnya. Mereka mampu menenangkan kekalutan jiwanya, kemudian mencoba berpikir jernih dalam mengambil tindakan selanjutnya.
Kemampuan si anak mengelola emosinya, telah memperbaiki hasil nilai ujiannya, sehingga ia mampu meraih peringkat tinggi di kelas. Sementara temannya yang tak mampu mengelola emosinya dengan baik, begitu gugup dan jatuh mentalnya dalam mengerjakan soal ujian, hingga pikirannya tak mampu mengingat rumus-rumus yang sebelumnya sudah ia hafal di luar kepala. Kejadian ini cukup memberikan gambaran, bagaimana kecerdasan emosi anak bisa turut menentukan tingkat kecerdasannya.
Selain itu, mereka yang memiliki EQ tinggi, adalah mereka yang mengetahui persis kelemahan dirinya. Hanya mereka yang tahu kelemahan dirinyalah yang punya modal untuk memperbaiki diri. Kalau seseorang yang pemarah tak mau dikatakan pemarah, yang mudah tersinggung pun selalu tersinggung jika orang lain mengkritiknya, jangan diharap bisa melakukan perbaikan diri. Itu sebabnya, kecerdasan emosional merupakan syarat utama bagi mereka yang ingin memperbaiki diri dan ingin meningkatkan kualitas potensi sumber daya manusianya. 

Mereka yang EQ-nya terasah, akan memiliki satu atau beberapa dari banyak karakter-karakter mental yang positif, seperti sabar, rajin, ulet, pantang putus asa, percaya diri, tenang, supel hingga tawadhu'. Dengan adanya sifat-sifat positif ini, akan lebih mudah lagi mencapai peningkatan intelektual (IQ). Sebaliknya, setinggi apapun IQ, bisa tak berfungsi jika tak memiliki sifat-sifat positif tadi.• (Ummu Zif)•

Tidak ada komentar:

Posting Komentar