Kesuksesan
seseorang, ternyata sebanyak 80 persen ditentukan oleh kecerdasan emosinya
(EQ), sementara kecerdasan intelektual (IQ) hanya memberikan kontribusi peran
sebesar 20 persen. Seperti apakah kecerdasan emosi itu? Tulisan ini merupakan
bagian kesatu dari tiga tulisan
Sebuah kisah tragis telah menimpa seorang
siswa kelas dua SMU, beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda rajin dan pandai,
yang disukai teman-temannya karena pandai bergaul. Ia pun terkenal aktif dalam
kegiatan ibadah dan dakwah Islam di kepengurusan OSIS di sekolahnya. Melihat
catatan kepribadiannya yang begitu positif, wajar jika seluruh guru dan
temannya tak bisa mempercayai ketika suatu saat diketemukan si pemuda alim
telah menjadi mayat karena melakukan gantung diri di kamar mandi rumahnya!
Bahkan ayah, ibu dan saudara-saudaranya pun
masih belum bisa mempercayai kenyataan tersebut, walau telah membaca
berpuluh-puluh kali rangkaian kalimat yang dituliskan si pemuda dalam surat ia
tinggalkan di meja belajarnya sebelum mengambil keputusan mengenaskan itu.
Dalam surat terakhirnya itu si pemuda mencoba menuturkan kesedihan dan
kekecewaan batinnya yang amat sangat mendalam, karena telah gagal memenuhi
janjinya kepada Allah swt dan terhadap dirinya sendiri.
Ia kisahkan bahwa sejak sepuluh hari
sebelumnya, ia telah membuat janji kepada Allah swt, akan melaksanakan shalat
tahajjud selama sepuluh hari. Begitu bersemangatnya si pemuda berinisiatif
mengikat janji tersebut, karena termotivasi dari kegiatan training
pembinaan keagamaan yang baru saja dilakukan para mahasiswa yang membina
kegiatan remaja masjid di daerah permukimannya.
Namun rupanya ghirahnya ber-Islam tersebut
tidak sempat terbimbing dengan benar, hingga ketika ternyata ia berulang-ulang
gagal untuk bangun pada malam hari, dari hari pertama hingga hari ke sepuluh,
seperti yang telah ia azzam-kan, maka kekecewaan hatinya pun benar-benar
tak terbendung lagi. Ia pun mengalami depresi akibat tumpukan rasa berdosa yang
sangat parah dan perasaan tak berguna dalam dirinya. Saat itulah, kondisi emosi
menjadi lebih berperan mengalahkan pikiran rasional. Karena emosi si pemuda
ternyata belum cerdas, maka iapun memilih jalan pintas dengan maksud menebus
kesalahan yang telah menghimpit perasaannya.
Kisah tragis yang dialami pemuda alim
tersebut memberikan pembelajaran kepada kita tentang begitu pentingnya peran
kecerdasan emosi dalam menentukan jalan hidup seseorang. Sepintar apapun
intelektual (IQ) seseorang, bisa menjadi tak berarti jika tak dibarengi
kecerdasan emosional(EQ).
Apakah itu kecerdasan
emosional?
Mari kita bayangkan sebuah kejadian, ketika
anak-anak sedang melalui kewajiban untuk mengikuti ujian akhir sekolah.
Sebelumnya, mereka telah berusaha belajar berbulan-bulan di bawah bimbingan
guru, dan mengerjakan beratus-ratus soal-soal latihan. Pada hari pelaksanaan
ujian, mereka merasa mantap dengan persiapan yang telah dilakukan selama ini.
Kesiapan mental mereka ternyata mulai goyah
setelah mulai membaca soal-soal ujian yang dibuat oleh sekolah lain. Ternyata
model soal serta materi yang ditanyakan di sana sangat jauh berbeda dengan apa
yang selama ini diajarkan oleh guru mereka! Tentu saja, anak-anak pun kelabakan
menghadapinya.
Seorang anak segera mengalami down,
kejatuhan mental karenanya. Timbul perasaan kecewa yang sangat berat karena
ternyata persiapan matang yang sudah dilakukan selama ini salah dan tak
berguna. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing, wajahnya tegang, dan
hafalan-hafalan rumus yang semula sudah lekat di kepala pun tiba-tiba hilang
tak bersisa. Ia menghabiskan waktu dengan mencoret-coret lembar jawaban,
terus-menerus mendesah dan mengeluh jengkel, sambil melirik kanan kiri, melihat
reaksi teman di kanan kirinya, berharap ada teman yang sama bingungnya dengan
dirinya. Akhirnya ia pun menyelesaikan ujiannya dengan hampir separuh soal tak
terisi.
Anak yang lain bereaksi dengan mencoba
meredam keterkejutannya, melihat betapa sulit soal yang dihadapinya. Ia menarik
nafas panjang, menegakkan punggungnya, dan berusaha menenangkan hatinya. Sempat
timbul keraguan, bisakah ia mengerjakannya? Namun hati kecilnya cepat menepis
keraguan itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia telah berusaha
sebaik mungkin untuk belajar. Diingatnya pesan ibunya, bahwa Allah menilai
berdasarkan seberapa besar usaha seseorang, bukan seberapa besar hasilnya. Maka
ia pun mulai mencoba membaca dengan hati-hati soal demi soal dengan tenang, dan
mencoba menjawab sebatas kemampuannya. Ternyata, ia bisa menyelesaikan seluruh
soal yang ada, walaupun banyak yang diisinya penuh keraguan, namun ia tak
membiarkannya kosong tak berisi, karena bukankah mencoba mengisinya masih lebih
baik dari pada tidak diisi sama sekali?
Dalam kisah di atas, anak sedang dihadapkan
kepada situasi yang menegangkan dan menimbulkan kekecewaan serta kekhawatiran
yang mencekam. Dan kedua anak telah menunjukkan dua reaksi emosi yang berbeda
dalam menghadapinya. Anak pertama tak mampu mengatasi stress yang dialaminya,
sehingga ia tak bisa mengontrol kepandaian otak rasionalnya. Sebaliknya anak
kedua mampu mempertahankan kestabilan perasaan dan emosinya dalam menghadapi
ketegangan tersebut, sehingga berhasil menguasai otak rasionalnya. Ia telah
memiliki emosi yang cerdas, yang akhirnya menyelamatkan nasibnya dalam ujian
tersebut.
Dalam sisi kepribadian manusia, ternyata
terdiri dua dimensi yang berbeda, yaitu sisi rasional dan sisi emosional. Sisi
rasional menyangkut kemampuan manusia dalam menghitung, meneliti, memikirkan
sebab akibat, menjalankan mesin dan memproduksi sesuatu. Sementara sisi
emosional membawa nuansa perasaan, menyangkut suasana hati gembira, sedih,
kecewa, tegang, takut, hingga pasrah.
Seberapa mampu seseorang mengatasi kesedihan,
ketakutan dan mengelola berbagai sisi emosi dalam dirinya itulah yang disebut
kecerdasan emosi. Mereka yang emosinya cerdas, ia akan tahu dan mampu menata
perasaannya, kapan ia harus marah, sedih atau kecewa, dan kapan pula ia boleh
gembira.
Selain mampu mengelola emosi diri sendiri,
anak yang emosinya cerdas pun pandai memahami keadaan orang lain. Mereka mudah
merasakan kesedihan dan kekhawatiran yang dirasakan temannya, sehingga tumbuh
empati mereka untuk menghibur teman tersebut. Terhadap teman yang sedang
jengkel, marah dan mengejek dirinya pun ia mudah memaafkan.
Kepandaian dalam bersosialisasi, termasuk
salah satu aspek kecerdasan emosi. Anak pandai bergaul, tidak pemalu, dan
cenderung mengutamakan orang lain, setelah kepuasannya sendiri tercukupi.
Mereka yang sangat cerdas emosinya bahkan memiliki kemampuan untuk memimpin
teman-temannya, dijadikan panutan dan disukai banyak teman.
80 versus 20
Contoh perbedaan reaksi anak dalam menghadapi
ujian di atas, cukup memberikan gambaran bagaimana kecerdasan emosi memberikan
peran yang amat besar untuk menentukan berfungsi tidaknya otak rasional. Anak
pertama yang tak memiliki kecerdasan emosi memadai, akhirnya tak mampu
mengendalikan stressnya hingga otak rasionalnya tak bisa berfungsi sempurna.
Intelektualitasnya telah dikuasai dan dikalahkan oleh emosinya yang sedang
buruk.
Contoh kemampuan anak kedua dalam mengendalikan
stress, cukup memberikan gambaran betapa besar peran sisi emosi ini dalam
mengendalikan intelektualitas seseorang. Mudah dipahami, bahwa Daniel Goleman,
sang pakar kecerdasan emosional mengungkapkan dalam bukunya, Emotional
Intelligence, bahwa perbandingan peran antara kecerdasan emosional
dibanding kecerdasan intelegensi dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang
adalah setara dengan perbandingan 80 : 20.
Bagaimana EQ melejitkan IQ
Anak yang memiliki emosi cerdas, akan
mengambil tindakan cukup simpatik ketika dihadapkan pada situasi yang
menegangkan. Mereka bisa mengendalikan emosi ketika ketegangan muncul saat
menghadapi soal-soal ujian yang luar biasa sulitnya. Mereka mampu menenangkan
kekalutan jiwanya, kemudian mencoba berpikir jernih dalam mengambil tindakan
selanjutnya.
Kemampuan si anak mengelola emosinya, telah
memperbaiki hasil nilai ujiannya, sehingga ia mampu meraih peringkat tinggi di
kelas. Sementara temannya yang tak mampu mengelola emosinya dengan baik, begitu
gugup dan jatuh mentalnya dalam mengerjakan soal ujian, hingga pikirannya tak
mampu mengingat rumus-rumus yang sebelumnya sudah ia hafal di luar kepala.
Kejadian ini cukup memberikan gambaran, bagaimana kecerdasan emosi anak bisa
turut menentukan tingkat kecerdasannya.
Selain itu, mereka yang memiliki EQ tinggi,
adalah mereka yang mengetahui persis kelemahan dirinya. Hanya mereka yang tahu
kelemahan dirinyalah yang punya modal untuk memperbaiki diri. Kalau seseorang
yang pemarah tak mau dikatakan pemarah, yang mudah tersinggung pun selalu
tersinggung jika orang lain mengkritiknya, jangan diharap bisa melakukan
perbaikan diri. Itu sebabnya, kecerdasan emosional merupakan syarat utama bagi
mereka yang ingin memperbaiki diri dan ingin meningkatkan kualitas potensi
sumber daya manusianya.
Mereka yang EQ-nya
terasah, akan memiliki satu atau beberapa dari banyak karakter-karakter mental
yang positif, seperti sabar, rajin, ulet, pantang putus asa, percaya diri,
tenang, supel hingga tawadhu'. Dengan adanya sifat-sifat positif ini, akan
lebih mudah lagi mencapai peningkatan intelektual (IQ). Sebaliknya, setinggi
apapun IQ, bisa tak berfungsi jika tak memiliki sifat-sifat positif tadi.• (Ummu
Zif)•
Tidak ada komentar:
Posting Komentar